📢 Petisi Siswa Viral: Menolak Sekolah 6 Hari! Mengapa Siswa Jateng Ingin Akhir Pekan Mereka Kembali?
Gelombang Penolakan Melanda Sekolah Jawa Tengah
Di tengah persiapan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Jateng yang mulai menata ulang penempatan guru dan kepala sekolah, sebuah gerakan penolakan lahir dan langsung viral di media sosial. Gerakan ini berbentuk petisi online yang dibuat oleh seorang siswa SMA bernama Alfariz Hadi.
Petisi yang berisi keberatan tegas atas usulan belajar enam hari untuk jenjang SMA/SMK ini dengan cepat menyebar, menjadi simbol suara pelajar yang merasa aspirasi mereka tidak didengar. Hingga berita ini ditulis, lebih dari 16.000 siswa telah menandatangani petisi tersebut, mendesak pemerintah provinsi untuk membatalkan rencana yang akan diterapkan mulai Januari 2026 ini.
Mengapa sistem enam hari yang dianggap 'klasik' ini menimbulkan penolakan masif? Dan apa saja argumen para siswa yang ingin mempertahankan akhir pekan mereka? Mari kita telusuri lebih dalam pusaran pro dan kontra kebijakan pendidikan di Jawa Tengah ini.
📅 Latar Belakang Kebijakan: Mengapa Sekolah 6 Hari Kembali Mengemuka?
Wacana penerapan kembali sistem enam hari belajar ini bukanlah sekadar isu tanpa dasar. Disdikbud Jateng memang telah menyampaikan rencana ini akan dimulai pada awal tahun ajaran baru, yaitu Januari 2026.
Untuk mendukung perubahan masif ini, langkah-langkah administratif pun sudah mulai diambil. Salah satunya adalah kebijakan mutasi sejumlah guru dan kepala sekolah ke lokasi yang lebih dekat dengan domisili mereka.
Sadimin, Kepala Disdikbud Jateng, menegaskan bahwa mutasi ini bukan tanpa tujuan. Tujuannya adalah agar para tenaga pendidik dapat bekerja lebih optimal dan efisien ketika kebijakan enam hari mulai dijalankan. Dengan jarak tempuh yang lebih singkat, diharapkan para guru dan kepala sekolah memiliki waktu dan energi yang lebih untuk fokus pada kegiatan belajar-mengajar selama enam hari penuh.
💡 Sebuah Kebijakan yang Tidak Benar-Benar Baru
Di satu sisi, sebagian cabang dinas mengakui bahwa kebijakan ini masih dalam tahap diskusi. Kepala Cabang Dinas Pendidikan Wilayah V, Agung Wijayanto, menyebut kebijakan enam hari baru sebatas pembahasan dalam forum diskusi dan belum masuk tahap sosialisasi resmi ke sekolah-sekolah.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa sekolah-sekolah di Jawa Tengah sejatinya pernah melalui pola enam hari belajar. Artinya, secara teknis, pelaksanaannya bukanlah hal yang benar-benar baru. Meski demikian, Agung mengakui bahwa setiap kebijakan, baik enam hari maupun lima hari, pasti memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
Pertanyaannya, jika secara historis sistem enam hari pernah ada, mengapa kini pelajar begitu lantang menolaknya? Jawabannya terletak pada perubahan positif yang mereka rasakan selama sistem lima hari berjalan.
💔 Mengungkap Isi Petisi: Mengapa Siswa Menolak Kembali ke Sekolah 6 Hari?
Petisi yang diinisiasi oleh Alfariz Hadi dan didukung oleh ribuan siswa lainnya ini bukan sekadar luapan emosi. Petisi ini memuat argumen yang terstruktur dan sangat relevan dengan isu kesehatan mental dan keseimbangan hidup pelajar modern.
Inti dari penolakan ini adalah keyakinan bahwa sistem lima hari belajar telah memberikan dampak positif yang signifikan bagi kehidupan pelajar. Berikut adalah poin-poin utama yang diangkat dalam petisi tersebut:
1. Peningkatan Kesehatan Mental dan Kesejahteraan
Sejak diterapkannya sekolah lima hari, banyak siswa merasakan perubahan positif pada kesehatan mental mereka. Jeda dua hari penuh—Sabtu dan Minggu—memberikan ruang yang cukup untuk recharge setelah lima hari yang intens. Ini membantu mengurangi tingkat stres dan kecemasan yang seringkali datang dari beban akademik yang berat.
2. Waktu Istirahat yang Lebih Memadai
Siswa kini memiliki waktu istirahat yang lebih memadai. Hari Sabtu dan Minggu dimanfaatkan tidak hanya untuk tidur, tetapi juga untuk melakukan hobi, kegiatan ekstrakurikuler non-sekolah, atau sekadar menikmati waktu luang. Penambahan satu hari sekolah berarti memangkas waktu istirahat ini, yang berpotensi menyebabkan kelelahan kronis (burnout) dan penurunan fokus di kelas.
3. Kualitas Waktu dengan Keluarga
Akhir pekan yang utuh memberikan kesempatan emas bagi siswa untuk berkumpul dengan keluarga. Momen ini penting untuk membangun ikatan sosial dan dukungan emosional, yang merupakan fondasi penting bagi kesuksesan akademik dan personal.
4. Beban Akademik Sudah Sangat Berat
Para siswa menilai bahwa beban akademik saat ini sudah cukup berat. Kurikulum yang padat, tugas yang menumpuk, dan tuntutan untuk berprestasi sudah memenuhi lima hari belajar mereka. Penambahan hari masuk sekolah justru dinilai kontraproduktif, berpotensi membuat siswa semakin lelah dan kurang produktif, alih-alih meningkatkan performa.
5. Alasan Pemerintah Tidak Relevan
Petisi tersebut juga mengkritik alasan pemerintah yang ingin menambah hari masuk sekolah, termasuk untuk meningkatkan pengawasan siswa. Menurut Alfariz dan para pendukungnya, alasan ini tidak mencerminkan kebutuhan dan kondisi riil yang dirasakan para pelajar. Pengawasan siswa seharusnya bisa ditingkatkan melalui metode yang lebih efektif tanpa mengorbankan waktu istirahat mereka.
📈 Data Pendukung: Benarkah 5 Hari Sekolah Lebih Baik?
Penolakan ini bukan sekadar keluh kesah. Alfariz Hadi bahkan menegaskan dalam petisinya bahwa sejumlah survei dari berbagai lembaga pendidikan telah menunjukkan adanya peningkatan motivasi dan performa akademik sejak sistem lima hari diterapkan.
Meskipun data spesifik untuk konteks Jawa Tengah perlu diuraikan lebih lanjut, secara global, konsep Work-Life Balance (Keseimbangan Kerja-Hidup) telah lama diterapkan di dunia kerja dan mulai diadaptasi di dunia pendidikan. Prinsipnya sederhana: istirahat yang cukup akan menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi.
Tabel Perbandingan Sistem Sekolah 5 Hari vs. 6 Hari
🎯 Harapan Siswa Kepada Pemerintah
Keberadaan petisi dengan puluhan ribu tanda tangan ini menjadi bukti nyata bahwa pelajar di Jawa Tengah tidak tinggal diam dalam menghadapi perubahan kebijakan yang menyentuh langsung kehidupan mereka. Mereka bukan hanya objek dari sebuah sistem, melainkan subjek yang memiliki suara dan aspirasi yang harus didengar.
Para penandatangan berharap bahwa Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Disdikbud Jateng mau duduk bersama, mendengar aspirasi mereka, dan mempertimbangkan kembali data-data mengenai manfaat sistem lima hari sebelum kebijakan sekolah enam hari benar-benar diterapkan pada semester depan.
Inilah momen krusial bagi pemerintah daerah untuk menunjukkan komitmennya terhadap pendidikan yang berorientasi pada kesejahteraan siswa, bukan hanya pada pengawasan atau administrasi semata. Menerapkan kebijakan pendidikan seharusnya sejalan dengan kondisi psikologis dan kebutuhan riil pelajar masa kini.
Apa pun keputusannya nanti, satu hal yang pasti: Suara 16.000+ siswa ini telah berhasil mengguncang wacana kebijakan pendidikan di Jawa Tengah.
🚀 Ingin Tahu Lebih Lanjut?
Apakah Anda setuju dengan petisi ini? Atau Anda melihat manfaat dari sistem sekolah enam hari? Bagikan pendapat Anda di kolom komentar!









