Hikmah di Balik Shalat Ghaib: Kisah Ustadz Hasan dan Jenazah Non-Muslim
Dakwah bukan semata penyampaian dalil, tetapi juga seni mendekatkan hati. Kisah yang dialami oleh Ustadz Hasan Basri, seorang dai alumni Pondok Pesantren Sidogiri, menjadi cerminan nyata betapa pentingnya hikmah dan keluwesan dalam menjalankan misi dakwah, terutama ketika berada di wilayah yang minoritas Muslim.
Latar Belakang Dakwah di Blitar
Sekitar tahun 2004, Ustadz Hasan dikirim oleh pesantrennya untuk berdakwah di sebuah daerah di Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Daerah tersebut dikenal sebagai kawasan multikultural dan multireligius, dengan populasi umat Islam yang tidak dominan. Banyak warga menganut agama selain Islam, seperti Kristen dan Hindu. Masyarakatnya hidup berdampingan dalam keseharian, dengan latar belakang budaya yang beragam.
Di tengah-tengah keberagaman itu, tantangan dakwah tentu tidak bisa dianggap ringan. Bukan hanya dari sisi pemahaman keagamaan masyarakat yang masih minim, tetapi juga dari segi sosial-budaya, di mana hubungan antar pemeluk agama sangat erat. Bahkan dalam hal yang sangat pribadi seperti pernikahan, tidak sedikit terjadi pernikahan lintas agama.
Kisah Muslimah dan Suami Non-Muslim
Suatu hari, datanglah seorang wanita Muslimah ke rumah Ustadz Hasan. Wanita ini dulunya beragama Islam, namun menikah dengan seorang pria beragama Kristen. Dalam realitas sosial seperti itu, banyak Muslimah yang akhirnya "ikut" agama suaminya, baik karena tekanan keluarga, maupun karena pemahaman agama yang masih dangkal. Itulah yang juga terjadi pada ibu ini.
Namun takdir berbicara lain. Suami dari ibu tersebut meninggal dunia. Di tengah duka yang mendalam, sang istri justru tergerak hatinya untuk kembali kepada Islam. Ia mendatangi Ustadz Hasan dengan sebuah permintaan yang tidak mudah: ia ingin agar jenazah suaminya dishalatkan, dan ia berjanji bahwa jika hal itu dilakukan, ia akan kembali memeluk agama Islam.
Permintaan ini menempatkan Ustadz Hasan pada sebuah dilema besar. Secara syariat, shalat jenazah hanya diperuntukkan bagi Muslim. Menyalati jenazah non-Muslim adalah hal yang dilarang dalam Islam, karena bertentangan dengan prinsip akidah. Namun di sisi lain, ini adalah kesempatan emas untuk menyelamatkan satu jiwa kembali ke dalam Islam. Sebuah situasi yang menuntut kearifan lebih dari sekadar teks.
Musyawarah Bijak dengan Pak RT
Menyadari kompleksitas masalah ini, Ustadz Hasan tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Ia mengajak Ketua RT setempat, yang kebetulan pernah mengikuti pengajian dan cukup memahami agama, untuk bermusyawarah. Di sinilah sikap seorang dai sejati tampak: tidak otoriter, tidak merasa paling benar sendiri, melainkan mengajak tokoh masyarakat bermusyawarah agar solusi yang diambil bisa diterima oleh lingkungan.
"Bagaimana ini, Pak RT? Ibu itu ingin jenazah suaminya dishalatkan," ujar Ustadz Hasan.
Pak RT pun terlihat bingung. Ia tahu bahwa secara hukum Islam hal itu tidak dibenarkan. Namun juga sadar bahwa ini bukan masalah hukum semata, tapi juga menyangkut hati dan harapan seseorang yang ingin kembali kepada Islam.
Akhirnya Ustadz Hasan mengusulkan sebuah jalan tengah, yang sangat bijak: "Kita shalat saja, Pak RT, tapi bukan menyalati jenazah itu. Kita niatkan shalat ghaib untuk almarhum ayah sampean. Secara syariat, kita tidak melanggar hukum, dan semoga dengan begitu, si ibu tidak jadi mundur dari niatnya kembali ke Islam."
Shalat Ghaib: Simbol Kearifan Dakwah
Shalat ghaib sendiri dalam Islam merupakan bentuk shalat jenazah yang dilakukan dari jarak jauh, biasanya ketika jenazah berada di tempat yang tidak bisa dijangkau. Dalam konteks ini, niatnya tidak diarahkan pada jenazah non-Muslim, tetapi diniatkan sebagai shalat ghaib untuk kerabat lain (dalam hal ini ayah Pak RT). Ini adalah simbol kearifan luar biasa dari seorang dai, yang mampu menjaga syariat sekaligus memenangkan hati.
Strategi ini ternyata berhasil. Ibu yang tadinya menggantungkan niatnya untuk kembali memeluk Islam pun merasa dihargai dan tidak dipermalukan. Ia dengan ikhlas mengucapkan syahadat dan kembali menjadi seorang Muslimah. Tidak hanya itu, setelah peristiwa tersebut, ia menjadi aktif dalam kegiatan keagamaan, sering membantu jika ada acara-acara di masjid atau lingkungan.
Hikmah dan Pelajaran Dakwah
Dari kisah ini, kita bisa memetik beberapa pelajaran penting:
1. Dakwah Memerlukan Hikmah, Tidak Sekadar Dalil
Dalam situasi tertentu, memahami konteks sosial dan psikologis masyarakat jauh lebih penting daripada sekadar menegakkan hukum secara tekstual. Seorang dai harus tahu kapan menyampaikan, kapan menahan diri, dan kapan mencari celah agar dakwah bisa diterima.
2. Musyawarah adalah Jalan Kebaikan
Ustadz Hasan tidak bertindak sendiri. Ia mengajak tokoh masyarakat berdiskusi, menunjukkan bahwa dalam Islam, pemecahan masalah sosial sebaiknya dilakukan secara kolektif agar keputusan yang diambil membawa maslahat luas.
3. Jangan Menghakimi Masa Lalu Orang
Ibu tersebut pernah keluar dari Islam. Namun ia memiliki niat kembali. Tugas dai bukan menghakimi masa lalu seseorang, tetapi membimbingnya kembali ke jalan yang lurus. Dalam Islam, pintu taubat selalu terbuka.
4. Menjaga Akidah Tanpa Menyakiti Hati
Meski tidak menyalati jenazah non-Muslim, Ustadz Hasan tidak menyampaikan penolakan dengan cara kasar. Ia tetap menjaga adab, memilih kata yang lembut, dan mencari solusi alternatif yang tetap dalam koridor syariat.
Dakwah Adalah Seni Menyentuh Hati
Kisah ini bukan semata tentang shalat jenazah, tetapi tentang kecerdasan emosional dan spiritual dalam menyampaikan dakwah. Banyak orang bisa menyampaikan ceramah, tapi tidak semua bisa menaklukkan hati. Itulah bedanya antara ilmu dan hikmah. Ilmu tanpa hikmah bisa menjadi keras. Tapi hikmah dengan ilmu akan membuahkan hidayah.
Semoga kita bisa meneladani semangat dan kebijaksanaan Ustadz Hasan, dan menjadikan kisah ini sebagai inspirasi dalam bermuamalah dengan masyarakat luas—terutama di tengah keberagaman agama dan budaya. Karena pada akhirnya, Islam datang bukan untuk menghukum, tetapi membawa rahmat bagi seluruh alam.